Kontributor

Selasa, 25 Januari 2011

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (3)

Beberapa Contoh Cara Mendidik Anak yang Nakal

Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:

Pertama, teguran dan nasihat yang baik

Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[1]

Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]

Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah

Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]

Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]

Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]

Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.

Bolehkah Memukul Anak yang Nakal untuk Mendidiknya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]

Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.

Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.

Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[9]

Cara-Cara Menghukum Anak yang Tidak Dibenarkan Dalam Islam[10]

Di antara cara tersebut adalah:

1. Memukul wajah

Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]

2. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas

Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]

3. Memukul dalam keadaan sangat marah

Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.

Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]

4. Bersikap terlalu keras dan kasar

Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”[14]

5. Menampakkan kemarahan yang sangat

Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[15]

Penutup

Demikianlah bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan akhlak pada anak, dan tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama dalam hal ini.

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk kebaikan hidup kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 9 Dzulhijjah 1431 H,

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id
[1] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5061, dan Muslim no. 2022.

[2] Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2516, Ahmad: 1/293), dan lain-lain; dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir, no. 7957.

[3] Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf: 9/477 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 10671; dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 1447.

[4] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 97.

[5] Dinukil oleh Imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir: 4/325.

[6] Dalam kitab beliau Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 95–97.

[7] Hadits riwayat Abu Daud, no. 495; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.

[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370.

[9] Kitab Majmu’atul As`ilah Tahummul Usratal Muslimah, hlm. 149–150.

[10] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 89–91.

[11] Hadits riwayat Abu Daud, no. 4493; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.

[12] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1218.

[13] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1659.

[14] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2529.

[15] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5763, dan Muslim no. 2609.

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (3)
Kategori Akhlaq dan Nasehat | 06-12-2010

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id
Sumber : http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/anak-nakal-bagaimana-mengatasinya-3.html

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (2)

Sebab Kenakalan Anak Menurut Kacamata Islam

Termasuk sebab utama yang memicu penyimpangan akhlak pada anak, bahkan pada semua manusia secara umum, adalah godaan setan yang telah bersumpah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyesatkan manusia dari jalan-Nya yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis (setan) berkata, ‘Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, sungguh saya akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat kepada-Mu).’” (QS. Al-A’raf: 16-17).

Dalam upayanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, setan berusaha menanamkan benih-benih kesesatan pada diri manusia sejak pertama kali mereka dilahirkan ke dunia ini, untuk memudahkan usahanya selanjutnya setelah manusia itu dewasa.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”[1]

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) yang berasal dari setan.“[2]

Perhatikanlah hadits yang agung ini! Betapa setan berupaya keras untuk menyesatkan manusia sejak mereka dilahirkan ke dunia. Padahal, bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia, dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah dewasa dan mengenal semua godaan tersebut?[3]

Di samping sebab utama di atas, ada faktor-faktor lain yang memicu dan mempengaruhi penyimpangan akhlak pada anak, berdasarkan keterangan dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, pengaruh didikan buruk kedua orangtua

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi (manusia) dilahirkan di atas fithrah (kecenderungan menerima kebenaran Islam dan tauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”[4]

Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia yang dilahirkan di dunia memiliki hati yang cenderung kepada Islam dan tauhid, sehingga kalau dibiarkan dan tidak dipengaruhi maka nantinya dia akan menerima kebenaran Islam. Akan tetapi, kedua orang tuanyalah yang memberikan pengaruh buruk, bahkan menanamkan kekafiran dan kesyirikan kepadanya.[5]

Syekh Bakr Abu Zaid berkata, “Hadits yang agung ini menjelaskan sejauh mana pengaruh dari kedua orangtua terhadap (pendidikan) anaknya, dan (pengaruh mereka dalam) mengubah anak tersebut dalam penyimpangan dari konseuensi (kesucian) fitrahnya kepada kekafiran dan kefasikan….

(Di antara contoh pengaruh buruk tersebut adalah) jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahram-nya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktik (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu. Inilah yang dinamakan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’.”[6]

Kedua, pengaruh lingkungan dan teman bergaul yang buruk

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir (tempat menempa besi). Maka, penjual minyak wangi bisa jadi memberimu minyak wangi atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kiir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.”[7]

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya, karena adanya pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadits tersebut sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka.[8]

Ketiga, sumber bacaan dan tontonan

Pada umumnya, anak-anak mempunyai jiwa yang masih polos, sehingga sangat mudah terpengaruh dan mengikuti apa pun yang dilihat dan didengarnya dari sumber bacaan atau berbagai tontonan.

Apalagi, memang kebiasan meniru dan mengikuti orang lain merupakan salah satu watak bawaan manusia sejak lahir, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف

“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama. Maka, yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling berdekatan, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih.”[9]

Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.

Syekh Abdurrahman as-Sa’di berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 120).

Beliau berkata, “Yaitu, supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para rasul ‘alaihimus sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shalih, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan….”[10]

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id
[1] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2865.

[2] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2367.

[3] Lihat kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah, hlm. 23.

[4] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 1319, dan Muslim no. 2658.

[5] Lihat kitab ‘Aunul Ma’bud: 12/319–320.

[6] Kitab Hirasatul Fadhilah, hlm. 130–131.

[7] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5214, dan Muslim no. 2628.

[8] Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim: 16/178 dan Faidhul Qadir: 3/4.

[9] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 3158, dan Muslim no. 2638.

[10] Kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 392.


Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (2)
Kategori Akhlaq dan Nasehat | 05-12-2010

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id
Sumber : http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/anak-nakal-bagaimana-mengatasinya-2.html

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (1)

Mendidik anak merupakan perkara yang mulia tapi gampang-gampang susah dilakukan, karena di satu sisi, setiap orang tua tentu menginginkan anaknya tumbuh dengan akhlak dan tingkah laku terpuji, tapi di sisi lain, mayoritas orang tua terlalu dikuasai rasa tidak tega untuk tidak menuruti semua keinginan sang anak, sampai pun dalam hal-hal yang akan merusak pembinaan akhlaknya.

Sebagai orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita meyakini bahwa sebaik-baik nasihat untuk kebaikan hidup kita dan keluarga adalah petunjuk yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an dan sabda-sabda nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ. قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala), penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari perhiasan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.’” (QS. Yunus: 57-58).

Dalam hal yang berhubungan dengan pendidikan anak, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang yang beriman akan besarnya fitnah yang ditimbulkan karena kecintaan yang melampaui batas terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. at-Taghabun: 14).

Makna “menjadi musuh bagimu” dalam firman-Nya adalah “melalaikan kamu dari melakuakan amal shalih dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[1]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya….”[2]

Fenomena Kenakalan Anak

Fenomena ini merupakan perkara besar yang cukup memusingkan dan menjadi beban pikiran para orangtua dan pendidik, karena fenomena ini cukup merata dan dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat, tidak terkecuali kaum muslimin.

Padahal, syariat Islam yang sempurna telah mengajarkan segala sesuatu kepada umat Islam, sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, apalagi masalah besar dan penting seperti pendidikan anak. Sahabat yang mulia, Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu pernah ditanya oleh seorang musyrik, “Sungguhkah Nabi kalian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar?” Salman menjawab, “Benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil….”[3]

Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensyariatkan agama ini Dialah yang menciptakan alam semesta beserta isinya dan Dialah yang maha mengetahui kondisi semua makhluk-Nya serta cara untuk memperbaiki keadaan mereka? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta besrta isinya) Maha Mengetahui (keadaan mereka)?, dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui (segala sesuatu dengan terperinci).” (QS. al-Mulk: 14).

Akan tetapi, kenyataan pahit yang terjadi adalah, untuk mengatasi fenomena buruk tersebut, mayoritas kaum muslimin justru lebih percaya dan kagum terhadap teori-teori/ metode pendidikan anak yang diajarkan oleh orang-orang barat, yang notabene kafir dan tidak mengenal keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka rela mencurahkan waktu, tenaga dan biaya besar untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut kepada anak-anak mereka.

Mereka lupa bahwa orang-orang kafir tersebut sendiri tidak mengetahui dan mengusahakan kebaikan untuk diri mereka sendiri, karena mereka sangat jauh berpaling dan lalai dari mengenal kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla yang menciptakan mereka, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka lupa kepada segala kebaikan dan kemuliaan untuk diri mereka sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hasyr: 19)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Renungkanlah ayat (yang mulia) ini, maka kamu akan menemukan suatu makna yang agung dan mulia di dalamnya, yaitu barangsiapa yang lupa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan dia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia tidak mengetahui hakikat dan kebaikan-kebaikan untuk dirinya sendiri. Bahkan, dia melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan dirinya di dunia dan akhirat. Dikarena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah jadikan bagi dirinya, lalu dia lupa kepada Allah, maka Allah menjadikannya lupa kepada diri dan perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan dirinya di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan keadaannya itu melampaui batas.” (QS. al-Kahfi: 28).

Dikarenakan dia lalai dari mengingat Allah, maka keadaan dan hatinya pun melampaui batas (menjadi rusak), sehingga dia tidak memperhatikan sedikit pun kebaikan, kesempurnaan serta kesucian jiwa dan hatinya. Bahkan, (kondisi) hatinya (menjadi) tak menentu dan tidak terarah, keadaannya melampaui batas, kebingungan serta tidak mendapatkan petunjuk ke jalan (yang benar).”[4]

Maka orang yang keadaannya seperti ini, apakah bisa diharapkan memberikan bimbingan kebaikan untuk orang lain, sedangkan untuk dirinya sendiri saja kebaikan tersebut tidak bisa diusahakannya? Mungkinkah orang yang seperti ini keadaannya akan merumuskan metode pendidikan anak yang baik dan benar dengan pikirannya, padahal pikiran mereka jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memahami kebenaran yang hakiki? Adakah yang mau mengambil pelajaran dari semua ini?

–Bersambung insya Allah–

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA

Artikel www.muslim.or.id

1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 4/482.

[2] Taisirul Karimir Rahman, hlm. 637.

[3] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 262.

[4] Kitab Miftahu Daris Sa’adah: 1/86.

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (1)
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA

Artikel www.muslim.or.id
Sumber : http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/anak-nakal-bagaimana-mengatasinya-1.html

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (5)

Kesebelas : Tatsabbut dan Tsabat

Diantara adab terpenting yang wajib dimilki oleh setiap penuntut ilmu adalah tatsabbut. Baik dalam hal berita yang disampaikan maupun dalam hal hukum yang bersumber dari pendapatmu. Apabila ada berita yang disampaikan maka hendaklah engkau menyelidiki terlebih dahulu apakah berita itu benar atau tidak, Kemudian apabila ternyata benar, maka janganlah langsung menghukumi. Selidikilah aspek hukumnya, sebab mungkin saja berita yang engkau dengar itu dibangun di atas dasar kebodohanmu lalu engkau menghukuminya bahwa hal ini salah, padahal kenyataannya hal itu tidak salah. Akan tetapi bagaimana solusi dari keadaan ini ?

Solusinya adalah engkau menghubungi orang yang menjadi objek berita lalu engkau katakan padanya bahwa telah diberitakan tentang dirimu begini dan begini, apakah hal itu benar ? Kemudian engkau berdiskusi dengannya. Kadang-kadang pengingkaran dan sikap menjauhmu dari dia pada awal ketika engkau mendengar berita tentang dia karena engkau tidak tahu apa penyebab timbulnya berita itu. Peribahasa mengatakan bahwa apabila diketahui sebab maka hilanglah rasa heran. Oleh karena itu mau-tidak mau harus menyelidiki terlebih dahulu. Kemudian setelah itu engkau menghubungi orang tersebut dan bertanya kepadanya apakah hal itu benar atau tidak ? Kemudian engkau berdiskusi dengannya. Hasilnya mungkin dialah yang berada di atas kebenaran lalu engkau yang rujuk kepadanya atau kebenaranlah yang menyertaimu lalu dia rujuk kepadamu.

Ada perbedaan antara Tsabat dan Tatsabbut. Keduanya merupakan istilah yang hampir serupa dari segi lafazh tetapi berbeda dalam masalah arti. Tsabat artinya adalah sabar dan ulet, tidak jemu dan tidak bosan serta tidak mengambil sebagian dari setiap kitab atau secuil dari satu disiplin ilmu lalu ditinggalkannya, karena hal ini akan membahayakan si penuntut ilmu, dan waktupun terbuang tanpa faidah. Umpamanya ada penuntut ilmu dalam masalah Nahwu kadang-kadang membaca buku Al Ajurumiyah tapi di waktu lain membaca matan Qatrun Nada, dan di waktu yang lain lagi dia membaca Alfiyah. Demikian pula dalam hal ilmu mushthalah, kadang dia membaca kitab Nukhbah, kadang Alfiyah Ak Iraqy. Juga dalam hal fiqih, kadang dia membaca kitab Zaadul Mustaqni’ kadang membaca Umdatul Fiqh, atau Al Mughny, atau syarah Muhadzdzab. Demikianlah seterusnya pada setiap kitab. Pada umumnya orang yang begini tidak akan meraih ilmu, kalau bisa meraih ilmupun hanya pada beberapa masalah tapi tidak mendasar. Orang yang memperoleh ilmu dalam beberapa masalah seperti orang yang menemukan belalang satu demi satu. Jadi penuntut ilmu haruslah belajar dengan mendasar, mendalam dan ulet. Inilah yang penting. Ulet dalam berhubungan dengan kitab yang engkau baca dan engkau ulang-ulang, ulet juga dalam hal guru tempat engkau menimba ilmu. Janganlah engkau belajar secara memutar setiap pekan kepada seorang guru, atau setiap bulan berganti guru ! Pertama-tama tetapkan (pilih) seorang guru tempat engkau menimba ilmu, kemudian setelah mantap tetaplah (belajar padanya) dan janganlah setiap pekan atau bulan engkau berganti guru. Tidak ada perbedaan antara memilih guru dalam masalah fiqih lalu terus kontinyu bersamanya dalam masalah fiqih, dan guru lain dalam masalah Nahwu lalu engkau menetap belajar kepadanya dalam masalah Nahwu. Dan guru lain dalam masalah aqidah dan tauhid lalu engkau terus bersamanya dalam hal itu. Yang penting engkau jangan berganti- ganti guru, sehingga engkau menjadi seperti seorang tukang menceraikan, setiap kali menikahi seorang wanita dia tinggal bersama wanita itu selama sepekan lalu dia ceraikan dan pergi untuk mencari yang lain.

Demikian juga tatsabbut adalah sesuatu yang penting karena orang yang menyampaikan berita kadang-kadang mereka mempunyai maksud jelek. Mereka menyampaikan berita yang kedengarannya jelek secara sengaja, Kadang-kadang mereka tidak mempunyai maksud jelek tetapi mereka memahami sesuatu dengan pemahaman yang sebaliknya dari yang dimaksud. Oleh karena itu wajib tatsabbut (menyelidiki) Apabila yang diberitakan telah yakin sanadnya barulah melangkah ke taraf diskusi dengan orang yang diberitakan sebelum engkau menghukumi perkataannya bahwa dia itu salah atau tidak salah. Hal ini disebabkan karena kadang-kadang dengan diskusi nampaklah olehmu bahwa kebenaran menyertai orang perkataannya diberitakan tadi.

Kedua belas : Bersungguh-sungguh dalam memahami maksud perkataan Allah  dan perkataan Rasulullah  .

Diantara perkara yang penting bagi para penuntut ilmu adalah masalah pemahaman, artinya memahami apa yang dimaksdu oleh Allah Azza Wajalla dan apa yang dimaksud oleh Rasulullah  karena kebanyakan menusia diberi ilmu akan tetapi tidak diberi pemahaman. Tidaklah cukup bagi engkau untuk menghafal kitab Allah dan apa yang mudah dari sunnah Rasulullah  tanpa pemahaman. Engkau harus memahami apa yang Allah maksud dan apa yang dimaksud oleh Rasulullah  dari Allah dan rasul-Nya. Betapa banyaknya kesalahan yang dilakukan oleh manusia yang berdalil dengan nash tetapi tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya lalu lahirlah kesesatan akibat hal itu.

Disini saya ingin mengingatkan tentang satu point penting yaitu bahwa kesalahan dalam memahami kadang-kadang lebih berbahaya dari pada kesalahan karena kebodohan. Karena orang yang bodoh yang bersalah karena kebodohannya mengetahui bahwa dia bodoh dan dia akan belajar. Tetapi orang yang pemahamannya salah meyakini dirinya berilmu dan benar dan meyakini bahwa inilah yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya. Kita berikan dua contoh dalam hal ini agar jelaslah bagi kita pentingnya pemahaman.

Contoh pertama :

Allah berfirman : (QS. 21 : 78-79)
Allah telah memberikan kelebihan kepada Sulaiman dari pada Dawud dalam masalah ini berupa pemahaman : ” Maka Kami berikan pemahaman kepada Sulaiman terntang masalah ini.”" Akan tetapi tidak ada kekurangan dalam ilmu Dawud. ” Dan masing-masing telah Kami berikan hikmah dan ilmu.”

Perhatikanlah ayat yang mulia ini, ketika Allah menerangkan keistimewaan Sulaiman berupa pemahaman, Allahpun menerangkan juga kelebihan Dawud, makanya Allah berfirman : ” Dan Kami tundukkan bagi Dawud……“. Sehingga seimbanglah masing-masing keduanya. Lalu Allah menerangkan apa yang sama dalam diri mereka berupa hikmah dan ilmu kemudian Dia menerangkan keistimewaan masingh-masing dibanding yang lainnya.

Ini menunjukkan kepada kita tentang pentingnya pemahaman dan ilmu bukanlah segalanya.

Contoh kedua :

Bila engkau mempunyai dua buah bejana yang satu berisi air hangat dan yang satu lagi berisi air dingin, dan saat itu sedang musim dingin. Lalu datanglah seseorang yang ingin mandi junub, lalu sebagian orang berkata :” Yang lebih utama engkau menggunakan air dingin karena dalam penggunaan air dingin terkandung kesulitan, karena Nabi  bersabda : Maukah aku tunjukkan kepada kalian apa yang bisa menyebabkan Allah menghapus kesalahan dan meningangkat derajat ?” Maka sahabat menjawab : Mau ya Rosulullah !” Beliau bersabda :” Menyempurnakan wadhu pada saat sulit…….“[1]

Maknanya adalah berwudhu pada waktu dingin, Jadi apabila engkau menyempurnakan wudhu dengan air dingin maka hal itu lebih utama dari pada berwudhu dengan air hangat yang sesuai dengan suhu udara. Lalu orang itu memfatwakan bahwa menggunakan air dingin ketika itu lebih utama karena berdalil dengan hadis tadi.
Apakah ini kesalahan dalam hal ilmu atau kesalahan pemahaman ?
Jawab :
Ini adalah kesalahan dalam pemahaman karena Rasulullah  bersabda :” Menyempurnakan wudhu ketika sulit ” Beliau tidak berkata :” Hendaklah kamu pilih air dingin untuk wudhu !” Bedakanlah kedua kalimat ini ! Seandainya di dalam hadis ini dikatakan kalimat yang kedua maka kita katakana : Ya ! kita memilih air dingin, tapi beliau berkata :” Menyempurnakan wudhu di saat sulit.” Artinya orang tidak terhalang dinginnya air untuk menyempurnakan wudhu.

Kemudian kita katakan :” Apakah Allah menginginkah kemudahan bagi hamba-Nya ataukah menghendaki kesulitan ?”

Jawabnya ada dalam firman Allah :” Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan.” (QS. Al Baqarah : 185).
Dan sabda Nabi  :” Sesungguhnya agama itu mudah.“[2]

Maka saya katakan kepada para penuntut ilmu bahwa masalah pemahaman adalah masalah yang penting, maka wajib kita memahami apa yang kehendaki oleh Allah dari hamba-hamba-Nya ? Apakah Dia hendak menyulitkan mereka dalam melaksanakan ibadah ataukah menghendaki kemudahan ?

Tidaklah diragukan lagi bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi kita dan Inilah beberapa adab yang diharapkan memiliki dampak bagi pada penuntut ilmu terhadap ilmunya sehingga mereka menjadi tauladan yang baik dan menjadi penyeru kepada kebaikan serta menjadi imam dalam agama Allah Azza Wajalla. Dengan sabar dan yakinlah keimamahan dalam agama bisa diraih sebagaimana firman Allah :” Dan Kami telah menjadikan imam-imam di kalangan mereka yang memberi petunjuk dengan perintah Kami karena kesabaran mereka dan mereka yakin kepada ayat-ayat kami.” (QS. As Sajdah : 24).

Footnote :
—————————————-
[1]Riwayat Muslim, kitab thoharah, bab keutamaan wudhu di saat sulit.
[2]Riwayat Bukhari, kitab iman, bab agama itu mudah.

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (5)
Okt 14th, 2010 | By abuhaidar | Category: Ilmu
Sumber : http://www.abuhaidar.web.id/2010/10/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-5/

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (4)

Kesepuluh : Berpegang teguh kepada kitab dan sunnah.

Setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat yang tinggi untuk memperoleh ilmu dan mengambilnya dari akar/dasar yang tidak mungkin dicapai oleh penuntut ilmu bila tidak dimulai dari hal ini. Yaitu :

1.Al Quranul Karim.
Setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat untuk membaca, mengahafalkan, memahami dann mengamalkan Al Quran, karena Al Quran adalah tali Allah yang kuat dan menjadi dasar bagi segala ilmu. Generasi salaf dahulu memiliki semangat yang amat tinggi dalam hal ini sehingga sering dikisahkan tentang mereka kisah-kisah yang menakjubkan tentang tingginya semangat mereka terhadap Al Quran. Engkau dapati salah seorang diantara mereka telah hafal Quran sejak usia tujuh tahun, sebagian lagi ada yang menghafalkan Quran kurang dari satu bulan. Hal ini menunjukkan tingginya semangat generasi salaf  terhadap Al Quran, maka setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat yang tinggi terhadap Quran dan menghafalkannya di bawah bimbingan seorang pengajar karena Al Quran diambil dengan cara talaqqy (dipelajari secara langsung dari guru).

Termasuk hal yang amat disayangkan yaitu apa yang engkau lihat bahwa sebagian penuntut ilmu tidak menghafal Quran bahkan sebagian diantara mereka tidak bagus bacaannya. Ini adalah aib yang besar dalam manhaj penuntut ilmu. Oleh karena itu saya ulang berkali-kali bahwa setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat yang besar untuk menghafal Quran, mengamalkannya dan menda’wahkannya serta memahaminya dengan pemahaman yang sesuai dengan pemahaman salafus soleh.

2.Sunnah yang sahihah.
Sunnah adalah sumber kedua bagi syariat Islam. Dia adalah yang menjelaskan Al Quran yang mulia, maka penuntut ilmu wajib memadukan keduanya (Quran dan sunnah) dan menaruh minat yang tinggi terhadap keduanya. Setiap penuntut ilmu harus menghafalkan sunnah, baik menghafalkan redaksi hadis atau dengan mempelajari sanad-sanad dan matannya dan membedakan antara yang sahih dengan yang dhoif. Demikian pula memelihara sunnah dengan cara membelanya dan membantah syubhat ahli bid’ah tentang sunnah.

Setiap penuntut ilmu harus loyal/berpegang teguh kepada Quran dan sunnah yang sahihah. Bagi seorang penuntut ilmu, keduanya (Quran dan sunnah) bagaikan dua sayap bagi seekor burung yang apabila salah satunya patah maka si burung tidak akan bisa terbang.

Oleh karena itu jangan sampai engkau memperhatikan sunnah tapi melalaikan Quran atau memperhatikan Quran tapi melalakan sunnah. Banyak penuntut ilmu yang memperhatikan sunnah baik syarahnya, rijalnya, ataupun mushtholahnya dengan perhatian yang besar akan tetapi apabila engkau bertanya kepadanya tentang salah satu ayat dalam kitab Allah maka engkau lihat dia bodoh tentang hal itu. Ini adalah kesalahan besar. Jadi Quran dan sunnah harus menjadi dua sayap bagimu wahai para pencari ilmu.

Ada hal ketiga yang amat penting yaitu pendapat para ulama. Janganlah engkau meremehkan pendapat ulama dan jangan menyepelekannya karena para ulama lebih mendalam ilmunya dari padamu. Mereka memiliki kaidah-kaidah syar’iyyah, rahasia-rahasia serta batasan-batasannya yang tidak engkau ketahui. Oleh karena itu para ulama yang mulia dan para muhaqiq apabila menurut mereka telah jelas satu pendapat, mereka mengatakan : “ Bila salah seorang diantara ulama berpendapat demikian maka kamipun berpendapat demikian, kalau tidak maka kamipun tidak”. Contohnya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahulloh dengan ketinggian ilmunya dan keluasan muthola’ahnya tapi apabila beliau mengatakan satu perkataan yang beliau tidak mengetahui siapa yang berpendapat demikian beliau mengatakan :” Saya berpendapat begini apabila ada ulama yang berpendapat demikian.“ Lalu beliau tidak mengambil pendapat itu.

Oleh karena itu setiap penuntut ilmu wajib rujuk kepada kitab Allah dan sunnah Rasul  dan memahaminya dengan penjelasan ulama.

Rujuk kepada kitab Allah dengan cara menghafalkannya, menelaahnya, dan mengamalkan apa-apa yang ada di dalamnya, karena Allah berfirman :
“ Inilah kitab yang kami turunkan kepadamu yang penuh barakah agar mereka menelaah ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal bisa mengambil pelajaran.” (QS Shad : 29).

Menelaah ayat-ayat-Nya sehingga bisa sampai kepada memahami maknanya. Sedangkan mengambil pelajaran maksudnya mengamalkan Al Quran.

Al Quran diturunkan untuk tujuan ini. Bila diturunkan untuk ini maka hendaklah kita kembali kepada kitab Allah agar kita menelaah dan mengetahui maknanya kemudian kita menerapkannya. Demi Allan di dalam hal ini terdapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah berfirman :” Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk dari-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” ( QS, Thoha : 123-124).

Oleh karena itu sampai kapanpun engkau tidak akan menemukan orang yang lebih nikmat kehidupannya, lebih lapang dadanya, dan lebih tenang hatinya dari pada orang mukmin sekalipun dia miskin. Seorang mukmin adalah seorang manusia yang paling lapang dadanya, paling tenang hatinya, dan paling luas perasaannya. Bila kalian mau bacalah firman Allah Ta’ala :” Barang siapa yang beramal solih baik laki-laki ataupun wanita dan dia mukmin maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik baginya dan akan Kami berikan balasan pahala mereka karena kebaikan amal yang telah mereka lakukan.” (QS. An Nahl : 97).

Apakah kehidupan yang baik itu ?

Jawab : Kehidupan yang baik adalah kelapangan dada dan ketenangan hati sekalipun seseorang berada pada keadaan yang sulit, tapi hatinya tenang dan dadanya lapang. Nabi  bersabda :” Sungguh mempesonakan urusan orang mukmin karena seluruh urusannya baik. Hal itu tidak layak bagi seorangpun kecuali bagi seorang mukmin. Bila dia ditimpa kesulitan maka dia sabar maka hal itu baik baginya. Dan apabila dia mengalami kesenangan dia bersyukur maka hal itu baik bagi dirinya.”

Seorang yang kafir apabila dia ditimpa kesusahan, apakah dia bersabar ? Jawabnya : Tidak ! Bahkan dia akan bersedih dan dunia akan terasa sempit baginya kadang-kadang dia putus asa dan bunuh diri. Akan tetapi seorang mukmin dia akan bersabar dan akan merasakan kelezatan sabarnya berupa kelapangan dada dan ketenangan, oleh karena itu kehidupannya menjadi baik. Inilah maksud firman Allah :” Maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik kepadanya.” Kehidupan yang baik di dalam hati dan jiwanya.

Salah seorang ahli sejarah ketika menceritakan tentang kehidupan Al Hafizh Ibnu Hajar Rohimahulloh mengisahkan bahwa beliau seorang hakim di Mesir pada zamannya. Apabila beliau pergi ke tempat kerjanya beliau selalu datang dengan memakai kereta yang ditarik dengan kuda. Suatu hari beliau bertemu dengan seorang Yahudi penjual minyak di Mesir. Biasanya penjual minyak itu pakaiannya kotor. Lalu Yahudi ini menghentikan kendaraan Sang Hakim, lalu berkata kepada Imam Ibnu Hajar Rohimahulloh :” Sesungguhnya Nabi kalian pernah bersabda :” Dunia ini penjara bagi orang mukmin tapi surga bagi orang kafir.”[1] Anda adalah seorang hakim agung di Mesir, menunggang kendaraan ini dan berada dalam kenikmatan ini. Sedangkan aku berada dalam derita dan sengsara seperti ini ?[2] Berkatalah Ibnu Hajar Rohimahulloh : “ Aku dalam keadaanku sekarang berupa kemewahan dan kenikmatan, tapi dibanding kenikmatan surga ibarat penjara. Sedangkan engkau dengan penderitaanmu sekarang dibanding adzab neraka nanti ibarat surga.” Berkatalah Yahudi “ Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Dia masuk Islam.

Seorang mukmin akan selalu baik bagaimanapun keadaannya dan dialah yang beruntung dunia akhirat.
Sedangkan orang kafir selalu jelek dan dialah yang akan rugi dunia dan akhirat.
Allah berfirman :” Demi waktu Asar, sesungguhnya manusia pasti rugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh serta saling mewasiatkan dalam kebenaran dan saling mewasiatkan dalam kesabaran.” (QS Al Ashr : 1-3)

Jadi orang-orang kafir dan orang-orang yang menyia-nyiakan agama Allah dan tenggelam dalam kesenangan dan kemewahan hidup mereka, sekalipun mereka membangun istana dan menguatkan serta bergelimang dalam gemerlapnya dunia tetapi hakikatnya mereka berada dalam neraka Jahim, sehingga sebagaian salaf pernah mengatakan :” Seandainya para penguasa serta para begundalnya mengetahui kenikmatan yang kami rasakan pastilah mereka akan memenggal kami dengan pedang.”

Adapun orang mukmin, mereka tenggelam dalam kenikmatan dengan bermunajat dan dzikir kepada Allah. Mereka selalu beserta ketentuan Allah dan taqdir-Nya. Bila mereka ditimpa penderitaan mereka akan sabar dan bila mengalami kesenangan mereka akan bersyukur. Maka mereka selalu berada dalam keadaan yang paling menyenangkan. Berbeda dengan para pemilik harta, mereka berada dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh Allah :” Kalau mereka diberi kenikmatan dunia, mereka ridha, tetapi kalau mereka tidak diberi tiba-tiba mereka marah.” (QS. At Taubah : 58).

Adapun rujuk kepada sunnah Nabi maka sunnah Rasul sekarang ada terpelihara di tengah-tengah kita, Alhamdulillah. Sampai hadis palsu atas nama Nabipun ada. Dan para ahli ilmu telah menjelaskan mana yang benar-benar sunnah dan mana yang palsu, sehingga tinggallah yang sunnah dengan jelas dan terpelihara, Alhamdulillah, sehingga setiap orang bisa sampai kepadanya baik dengan merujuk kepada kitab-kitab – bila memungkinkan- atau dengan cara bertanya kepada ahli ilmu.

Akan tetapi bila ada orang yang berkata :” Bagaimana memadukan antara yang anda katakan berupa rujuk kepada kitab Allah dan sunnah Rasul, dengan kenyataan bahwa kita menemukan orang-orang mengikuti kitab-kitab yang dikarang dalam madzhab-madzhab ? Sehingga ada yang berkata :” Madzhab saya adalah ini !” Yang lain mengatakan :” Madzhab saya itu !” dan seterusnya sehingga bila anda berfatwa kepada seseorang dengan mengatakan :” Telah berkata Nabi Shalallahu alaihi wasallam begini dan begini ….” Tapi orang itu mengatakan :” Madzhab saya Hanafy, atau Maliky, atau Syafi’iy, dan seterusnya…….

Kita jawab bahwa kita semua mengatakan : Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang Haq selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Lalu apa makna syahadat bahwa Muhammad itu utusan Allah ?

Para ulama mengatakan bahwa maknanya adalah : Mentaatinya dalam semua perintahnya, membenarkan semua yang diberitakannya, dan menjauhi semua yang dilarangnya, serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.

Bila ada orang yang mengatakan bahwa madzhabku adalah anu, maka kita katakan kepadanya bahwa ini adalah ucapan Rasul Shalallahu alaihi wasallam , maka janganlah kamu menentangnya dengan perkataann siapapun.

Para imam madzhab pun melarang kita dari taqlid kepada mereka dengan taqlid buta. Mereka mengatakan :” Ketika kebenaran telah jelas maka wajiblah untuk merujuk kepadanya.”

Kita katakana kepada orang yang menentang kita dengan madzhab tertentu :” Kami dan anda sama-sama bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Konsekwensi dari persaksian ini adalah kita tidak mengikuti siapapun kecuali Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam“.

Inilah sunnah di depan kita dengan jelas dan nyata. Tapi maksud saya dengan ucapan ini bukan berarti mengecilkan pentingnya merujuk kepada kitab para fuqoha dan ahli ilmu, bahkan merujuk kepada kitab-kitab mereka untuk mengambil manfaat dan mengetahui metoda penetapan hukum dari dalilnya termasuk perkara yang tidak mungkin dilakukan oleh para penuntut ilmu kecuali dengan merujuk kepada kitab-kitab tersebut.

Oleh karena itu kita temukan bahwa orang-orang yang tidak belajar melalui bimbingan para ulama, kita temukan bahwa mereka memiliki penyimpangan yang banyak, karena mereka akan memandang dengan sudut pandang yang minim dari pandangan yang semestinya. Umpamanya mereka mengambil sahih Bukhari, lalu mereka memegang pandapat yang terkandung dalam hadis-hadis tersebut, padahal di dalam hadis-hadis tersebut ada yang sifatnya umum, ada yang khusus, ada yang mutlak ada pula yang muqoyyad. Ada pula yang mansukh akan tetapi mereka tidak tertunjuki kearah itu, akhirnya mereka terjerumus ke dalam kesesatan yang besar. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh

Footnote:
—————————————
[1] Riwayat Muslim, kitab zuhud
[2] Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Zuhud, bab orang mukmin itu semua urusannya baik.

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (4)
Okt 14th, 2010 | By abuhaidar | Category: Ilmu
Sumber : http://www.abuhaidar.web.id/2010/10/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-4/

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (3)

Ketujuh : Hikmat.

Penuntut ilmu harus menjadi orang yang dihiasi dengan sifat hikmah, karena Allah berfirman : “Allah memberi hikmah kepada orang yang dikehendaki, dan barang siapa orang yang diberi hikmah maka berarti dia sudah diberi kebaikan yang banyak.” (Qs. AL Baqarah 269). Hikmah berarti seorang penuntut ilmu harus mendidik orang lain dengan akhlak yang dimilikinya dan dengan ajaran yang dida’wahkannya dari agama ini dengan cara berbicara dengan setiap orang dengan cara yang sesuai dengan keadaan orang tersebut. Bila kita menempuh cara ini maka kita akan memperoleh kebaikan yang banyak sebagaiman firman Allah :” Barang siapa yang telah diberi hikmah maka sungguh dia telah mendapatkan kebaikan yang banyak.” ( (QS Al Baqarah : 269).

Orang yang hikmah adalah orang yang mampu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya karena hikmah diambil dari kata ihkam yang artinya itqon, sedangkan itqon artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka setiap penuntut ilmu wajib menjadi orang yang hikmah dalam da’wahnya.

Allah telah menerangkan tentang tingkatan da’wah dalam firman-Nya :” Serulah manusia ke jalan Rabbmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baikserta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An Nahl 125). Allahpun menerangkan tingkatan keempat dalam berdebat dengan ahli kitab. Dia berfirman :” Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali kepada orang yang dhalim diantara mereka.” (Al Ankabut : 46).

Seorang penuntut ilmu harus memilih cara da’wah yang yang lebih dekat untuk diterima. Contoh hal itu adalah dalam da’wah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Ada seorang Arab Badui datang ke mesjid dan dia kencing di salah satu pojok mesjid. Para sahabatpun bangkit untuk mencegahnya, tapi mereka dilarang oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Setelah orang itu selesai dari kencingnya Nabipun memanggil dia dan berkata kepadanya :” Sesungguhnya masjid ini tidaklah pantas untuk sesuatupun dari kencing atauu kotoran, hanyalah mesjid itu untuk dzikir kepada Allah Azza wajalla, shalat, dan membaca AL Quran.”[1] Atau seperti yang dikatakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Apakah kalian melihat hal yang lebih hikmah dari hal ini ? Maka orang Arab Badui inipun lapang dadanya dan rela sehingga dia berdoa :” Ya Allah,berilah rahmat kepadaku dan kepada Muhammad saja dan janganlah Engkau berikan rahmat kepada seorangpun selain kami.”

Kisah lainnya dari Muawiyah Bin Hakm As Sulamy, dia berkata :” Ketika saya sedang shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tiba-tiba salah seorang ada yang bersin, lalu aku berkata :” Semoga Allah merahmatimu.” Maka orang-orangpun menunjukan pandangan mereka kepadaku, lalu aku berkata :” Ada apa dengan kalian ? Kenapa kalian memandang kepadaku ?” Maka orang-orangpun memukul-mukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Maka ketika aku melihat bahwa mereka bermaksud mendiamkanku maka akupun diam. Setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam selesai shalatnya maka demi bapakku,dia, dan ibuku, aku tidak pernah melihat seorang yang lebih baik mengajarnya dari pada beliau, beliau tidak membenciku, mumukulku atau mencelaku, beliau hanya berkata :” Sesungguhnya shalat ini tidaklah pantas di dalamnya ada perkataan manuisa sedikitpun, sebab shalat itu hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al Quran.”[2] Dari sini kita temukan bahwa mengajak kepada Allah wajib dengan cara yang hikmah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Azza wajalla.

Contoh lain bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam melihat seorang laki-laki sedang memakai cincin dari emas di tangannya, sedangkan cincin emas haram bagi laki-laki. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam mencabut emas itu dari tangannya dan melemparkannya sambil berkata :” Salah seorang diantara kalian bersandar kepada bara api neraka lalu menyimpannya di tangannya ?”[3] Setelah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam pergi, maka ada yang berkata kepada laki-laki itu : “ Ambil cincinmu dan manfaatkanlah !” Diapun berkata :” Demi Allah, aku tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh Rasuluillah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.” Cara memberi bimbingan dalam kasus ini lebih keras karena bagi setiap kasus ada caranya tersendiri. Demikianlah setiap orang yang mengajak kepada Allah hendaklah menempatkan setiap urusan pada tempatnya dan janganlah menempatkan manusia pada level yang sama. Yang menjadi maksud utama adalah teraihnya manfaat.

Kalau kita perhatikan apa yang banyak dilakukan oleh para da’I sekarang maka akan kita temukan bahwa sebagian dari mereka lebih didominasi oleh perasaan ghirah sehingga membuat manusia lari dari da’wahnya. Dan kalau dia melihat orang lain melakukan sesuatu yang haram maka akan engkau dapatkan bahwa dia akan menegurnya dengan keras dan kasar dengan mengatakan :” Kamu tidak takut kepada Allah ?” Dan perkataan yang semisal itu sehingga membuat orang itu lari dari dia. Ini tidaklah baik karena hal ini kontra produktif. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengutip perkataan Imam Syafi’I tentang pendapat beliau terhadap ahli kalam ketika mengatakan :” Ketetapanku tentang ahlu kalam hendaklah mereka dipukul dengan pelepah kurma dan sendal lalu diarak berkeliling di jalan-jalan sambil dikatakan kepadanya : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan kitab dan sunnah dan memperhatikan ilmu kalam..”

Berkata Syaikhul Islam :” Sesungguhnya manusia apabila melihat kepada mereka (ahli kalam) maka akan mereka temukan bahwa mereka berhak menerima hukuman seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’I dari satu segi akan tetapi apabila menusia melihat mereka dengan kacamata taqdir, bagaimana kebingungan telah menguasai mereka, dan syetan telah mendominasi mereka maka manusia akan merasa kasian kepada mereka dan mengasihi mereka dan akan bersyukur kepada Allah karena Allah telah menyelamatkan dirinya dari musibah yang Allah timpakan kepada mereka. Mereka diberi kecerdasan tetapi tidak diberi kesucian, mereka diberi pemahaman tetapi tidak diberi pengetahuan, mereka diberi pendengaran, penglihatan, dan hati tetapi semua itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka“.

Demikianlah wahai saudaraku, hendaklah kita melihat kepada ahli maksiyat dengan dua jenis pandangan. Pandangan syar’i dan pandangan taqdir. Pandangan taqdir artinya kita tidak boleh mempedulikan celaan orang yang mencela dalam menjalankan hukum Allah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang wanita dan laki-laki pezina :” Maka jilidlah mereka berdua masing-masing seratus kali dan janganlah kalian merasa kasian kepada keduanya dalam melaksanakan agama Allah.” (QS. An Nur : 2).
Kalau kita memandang mereka dengan pandangan taqdir maka kita akan mengasihani mereka dan iba kepada mereka serta bermuamalah dengan mereka dengan cara yang kira-kira lebih dekat kepada tercapainya tujuan dan terkikisnya hal yang tidak disukai. Inilah sikap seorang penuntut ilmu, berbeda dengan orang yang bodoh yang memiliki ghirah akan tetapi dia tidak memiliki ilmu. Maka seorang penuntut ilmu yang sekaligus sebagai da’I yang selalu mengajak kepada Allah wajib menerapkan pola hikmah.

Kedelapan : Seorang penuntut ilmu harus sabar dalam belajar.

Artinya ulet dalam mencari ilmu, tidak putus di tengah jalan, dan tidak bosan, tapi harus kontinyu dalam belajar semampu mungkin hendaklah dia fokuskan perhatian kepada ilmu dan tidak bosan karena seorang manusia apabila dihinggapi dengan bosan maka dia akan cepat lelah lalu akan meninggalkan belajarnya, akan tetapi apabila dia ulet di atas ilmu maka dia akan memperoleh pahala orang-orang yang sabar dari satu sisi dan dia akan memetik hasil dari sisi lain. Dengarlah firman Allah Azza wajalla ketika Dia berfirman kepada nabi-Nya :” Itulah diantara berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu yang sebelumnya kamu tidak ketahui juga tidak diketahui oleh kaummu, maka bersabarlah, sesungguhnya hasil yang baik diperuntukkan bagi orang-orang yang taqwa.” (QS. Hud : 49).

Kesembilan : Menghormati ulama dan memulyakan mereka.

Setiap penuntut ilmu wajib menghormati ulama dan memulyakan mereka serta berlapang dada ketika terjadi ikhtilaf antara ulama dengan selain mereka dan memaklumi orang yang menempuh jalan yang salah dalam i’tikad mereka. Ini point yang penting sekali karena sebagaian manusia ada yang memperhatikan kesalahan orang lain untuk disikapi dengan sikap yang tidak layak tentang mereka dan menyebarkan berita mereka di kalangan manusia. Ini merupakan kesalahan terbesar karena apabila mengghibahi manusia biasa sudah termasuk dosa besar maka mengghibahi seorang berilmu lebih besar lagi dosanya karena mengghibahi seorang yang berilmu madharatnya tidak hanya terbatas kepada pribadi yang bersangkutan saja tetapi juga terhadap ilmu syar’i yang dibawanya.

Apabila manusia menganggap enteng kepada seorang yang berilmu atau harga dirinya jatuh dalam pandangan mereka maka perkataannyapun akan jatuh pula. Bila dia (orang yang berilmu) mengatakan kebenaran dan menuntyun kepada kebenaran maka ghibah manusia kepada orang yang berilmu ini akan menjadi penghalang antara manusia dengan ilmu syar’i yang dibawanya. Dan bahaya tentang hal ini besar sekali.

Aku katakan bahwa para pemuda wajib menanggapi ikhtilaf yang terjadi diantara ulama dengan niyat yang baik dan didasari dengan sikap ijtihad dan memaafkan mereka dalam kesalahan mereka. Tidak ada halangan untuk berbicara dengan mereka dalam hal yang mereka yakini bahwa hal itu salah untuk menjelaskan kepada mereka apakah kesalahan itu datang dari mereka atau dari orang-orang yang mengatakan bahwa mereka salah ? Karena kadang-kadang manusia menganggap bahwa pendapat seorang alim itu salah kemudian setelah terjadi diskusi jelaslah baginya bahwa dia adalah benar. Manusia itu orang biasa :” Setiap anak Adam suka melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat.”[4]

Adapun bergembira dengan kesalahan dan penyimpangan seorang alim untuk disebarkan di kalangan manusia sehingga terjadi perpecahan maka hal ini bukanlah jalan hidup salaf.

Demikian pula kesalahan yang terjadi di kalangan umaro. Tidak boleh kita menjadikan kesalahan mereka sebagai tangga untuk mencaci mereka dalam segala hal tanpa memandang amal-amal baik mereka, karena Allah berfirman :” Hai orang-orang yang beriman jadilah kalian saksi-saksi yang adil karena Allah dan janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum menyebabn\kan kalian tidak berbuat adil.” ( Al Maidah : 8). Artinya Kebencian terhadap suatu kaum jangan sampai menyebabkan kalian berbuat tidak adil. Adil itu wajib. Tidaklah halal bagi seseorang untuk mengambil kesalahan umaro atau ulama atau selain mereka lalu disebarkan diantara manusia sementara dia diam dari kebaikan-kebaikan mereka. Ini tidaklah adil.

Analogikanlah ini dengan dirimu. Seandainya seseorang berbuat lancang kepadamu dan menyebarkan kesalahan serta peyimpanganmu dan menyembunyikan kebaikan dan kebenaran yang ada padamu, maka engkau akan menganggap hal itu sebagai pengkhianatan dia kepadamu. Kalau engkau melihat hal itu pada dirimu maka wajib pula engkau berpandangan seperti itu pula terhadap orang lain. Sebagaimana yang telah aku isyaratkan tadi bahwa obat bagi apa yang engkau anggap salah hendaklah engkau menghubungi orang yang engkau anggap salah tersebut lalu berdiskusi maka akan jelaslah sikap setelah berdiskusi.

Betapa banyak orang yang setelah berdiskusi lalu dia rujuk dari pendapatnya kepada pendapat yang benar. Dan betapa banyak manusia setelah berdiskusi ternyata pendapatnya benar padahal tadinya kita mengira bahwa dia salah. “ Orang mukmin dengan orang mukmin itu seperti bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.”[5]

Nabi  bersabda :” Siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah dia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah dia berbuat kepada manusia sebagaimana dia suka apabila manusia berbuat seperti itu terhadapnya.”[6] Inilah sikap adil dan istiqamah. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh

Footnote
—————————————-
[1]Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab wudhu, bab menuangkan air ke atas kencing di masjid.Muslim, kitab thoharaoh, bab wajibnya membasuh air kencing.
[2]Dikeluarkan oleh Muslim, kitab masjid dan tempat-tempat shalat, bab haramnya berbicara di dalam shalat.
[3]Dikeluarkan oleh Muslim, kitab pakaian, bab haramnya cincin emas bagi laki-laki.
[4]Dikeluarkan oleh Imam Ahmad juz 3 hal 198. Tirmidzi, kitab sifat hari kiamat, juz 4 hal 569 nomor 2499. Ibnu Majah , kitab Zuhud, bab keterangan tobat. Ad Darimi, kitab riqoq, bab tobat. Al Baghowy dalam syarah as sunnah juz 5 hal 92. Abu Na’im dalam Al Hilyah juz 6 hal 332. Hakim dalam Mustadrak juz 4 hal 273 Ai Ajuly dalam Kasyful Khufa juz 2 hal 120. Berkata Hakim :” Hadis sahih sanadnya tapi keduanya tidak mengeluarkannya. Mustadrak juz 4 hal 273. Kata Al ‘Ajuly sanadnya kuat. Juz 2 hal 120.
[5]Diriwaytkan oleh Bukhori, kitab masjid, bab menganyam jari-jari di masjid dan di tempat lain. Muslim, kitab kebaikan dan silaturrahmi, bab saling menyayangi, mengasihi , dan membantu dengan sesama mukmin.
[6]Takhrij hadis ini telah diterangkan pada halama yang lalu.

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (3)
Okt 14th, 2010 | By abuhaidar | Category: Ilmu
Sumber :http://www.abuhaidar.web.id/2010/10/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-3/

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (2)

Kelima : Mengamalkan ilmu.

Seorang penuntut ilmu harus mengamalkan ilmunya baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, adab, dan muamalah, karena amalan adalah buah dari ilmu dan kesimpulan dari ilmu. Pembawa ilmu seperti orang yang membawa senjata,bisa bermanfaat baginya atau bisa juga mencelakakannya, oleh karena itu diterangkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Quran itu hujjah bagimu atau dakwaan bagimu.”[1] Akan menjadi hujjah bila kau amalkan dan akan menjadi dakwaan bila tidak kau amalkan. Demikian juga mengamalkan apa-apa yang sahih dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dengan cara membenarkan semua kabar darinya dan melaksanakan hukum-hukum. Jika datang berita dari Allah dan rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Salam maka benarkanlah dan terimalah serta tunduklah dan jangan kau katakan :” Mengapa ? Bagaimana ?” Karena sikap itu adalah bukanlah sikap mukminin. Allah berfirman :” Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin baik laki-laki maupun wanita, apabila Allah telah menetapkan sesuatu urusan akan lalu ada pilihan lain bagi mereka dari urusan mereka. Dan barang siapa yang maksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan sejauh-jauhnya.”(Al Ahzab : 36).
Para sahabat ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam berbicara kepada mereka dengan sesuatu yang kadang-kadang asing dan jauh dari akal mereka mereka langsung menerima hal itu dan tidak mengatakan :” Kenapa ? bagaimana ?” Berbeda dengan sikap orang zaman kiwari dari ummat ini. Kita dapati sebagian mereka apabila disampaikan kepadanya sebuah hadis dari Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam akalnya merasa keheranan tentang hal itu dan kita temukan dia memperlakukan ucapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam yang dia renungkan isinya akan tetapi untuk di sanggah dan bukan untuk diambil petunjuknya, oleh karena itu dia terhalang untuk memperoleh taufiq sehingga membantah apa yang datang dari rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan tidak menerimanya dengan pasrah.
Saya akan berikan contoh untuk hal itu. Di dalam suatu hadis dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam beliau bersabda :” Tuhan kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga akhir malam, lalu Dia berkata :” Siapa yang berdoa kepada-Ku pasti Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku pasti Aku akan beri, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku pasti akan Aku ampuni.”[2] Hadis ini diceritakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan ini merupakan hadis yang masyhur bahkan mutawatir. Tak seorangpun sahabat yang berani mengangkat lisannya untuk bertanya :” Wahai Rasulullah, bagaimanakah Allah turun ? Apakah Arsynya kosong atau tidak ?” Dan pertanyaan senada. Akan tetapi kita temukan beberapa orang berbicara seperti ini dan menanyakan Bagaimana dengan Arsy ketika Allah turun ke langit dunia ? dan omongan lainnya yang terucap. Seandainya mereka menerima hadis ini dengan pasrah dan berkata bahwa Allah Azza wajalla bersemayam di atas Arsy dan Maha Tinggi sesuai dengan keharusan Zat-nya dan Dia turun sebagaimana yang dikehendaki-Nya Subhanahu wa Ta’ala maka akan tertolaklah syubhat ini dari mereka dan tidak akan meresa bingung tentang apa yang diberitakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tentang Rabb-Nya.
Dengan demikian kita wajib menerima apa saja yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang urusan-urusan yang ghaib dengan pasrah dan tidak membantahnya dengan apa-apap yang tersirat dalam pikiran kita karena urusan yang ghaib tak akan terjangkau oleh akal itu. Contoh tentang hal itu banyak sekali. Saya tidak ingin berbicara panjang tentang masalah ini, tapi sikap seorang mukmin terhadap hadis-hadis seperti ini hanyalah menerima dengan pasrah dengan mengatakan : Benarlah Allah dan Rasul-Nya ! Sebagaimana yang Allah kabarkan tentang masalah ini dalam firman-Nya :” Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya….”(Al Baqarah : 285).
Aqidah wajib dibangun di atas kitab dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam Dan manusia harus mengetahi bahwa tidak ada ruang bagi akal di dalamnya. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada jalan masuk bagi akal dalam masalah aqidah, saya hanya mengatakan bahwa tidak ada ruang bagi akal dalam masalah aqidah kecuali sebatas keterangan yang datang tentang kesempurnaan Allah yang dikuatkan oleh akal sekalipun akal tidak bisa mengetahui rincian dari apa yang wajib bagi Allah tentang kesempurnaan akan tetapi akal bisa mengetahui bahwa Allah mempunyai semua sifat kesempurnaan, orang yang dikaruniai hal ini wajib mengamalkan ilmunya dari sisi aqidah.
Demikian pula dari sisi ibadah-beribadah kepada Allah Azza wajalla - Sebagaimana yang diketahui oleh kebanyakan dari kita bahwa ibadah harus dibangun di atas dua dasar :
Pertama: Ikhlas karena Allah Azza wajalla.
Kedua : Mengikuti Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Manusia harus membangun ibadahnya di atas ajaran yang besumber dari Allah dan Rasul-Nya tidak boleh mengada-adakan kebid’ahan dalam agama Allah yang bukan bagian dari agama ini baik dalam asal ibadahnya maupun ritualnya. Oleh karena itu kita katakan bahwa ibadah itu harus berupa sesuatu yang tetap berdasarkan syariat baik dalam bentuknya, tempatnya, waktunya, serta sebabnya, harus ditetapkan dengan syariat dalam semua hal tadi.
Kalau seseorang menetapkan salah satu sebab untuk ibadah yang dia lakukan kepada Allah tanpa dalil, maka kita tolak hal itu dan kita katakan bahwa ibadah ini tidak akan diterima karena mesti ada landasan syariatnya bahwa ini adalah menjadi penyebab ibadah tersebut kalau tidak maka tidak akan diterima. Kalau seseorang menetapkan satu syariat berupa ibadah tapi tidak ada keterangan syariat tentang hal itu atau dia melakukan satu amalan yang ada landasan syariatnya tapi dengan cara pelaksanaan yang diada-adakan atau pada waktu yang diada-adakan maka kita katakan bahwa ibadah ini juga ditolak karena ibadah itu harus dibangun di atas landasan syariat karena hal ini termasuk tuntutan dari apa yang telah Allah ajarkan kepadamu berupa ilmu yaitu tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang disyariatkan.
Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa pada asalnya ibadah itu dilarang sehingga adanya dalil yang mensyariatkannya. Hal ini ditunjukkan oleh ayat :” Atau apakah mereka punya sekutu sekutu yang menetapkan syariat bagi mereka berupa agama yang Allah tidak memberika izin tentang hal itu ?” (Asy Syura : 21). Juga bedasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dalam hadis yang terdapat dalam kitab Sahih (Muslim) dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha :” Barang siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka amalan itu tertolak.”[3] Sekalipun engkau ikhlas dan ingin sampai kepada Allah dan Kemuliaannya akan tetapi dilakukan bukan dalam bentuk yang disyariatkan maka hal ini akan tertolak. Seandainya engkau ingin sampai kepada Allah dengan cara yang Allah tidak menetapkan jalan itu untuk sampai kepada-Nya maka hal inipun tertolak.
Dengan demikian setiap penuntut ilmu wajib menjadi seorang yang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan landasan syariat yang diketahuinya tidak menambah atau mengurangi . Tidak boleh dia mengatakan bahwa saya ingin beribadah kepada Allah dengan cara yang bisa membuat jiwa saya tenang dan hati saya sejuk serta dada saya lapang. Tidak boleh dia mengatakan hal ini sekalipun seandainya dia mendapatkan hal-hal tersebut, tapi dia harus menimbang dengan timbangan syariat, kalau amalan itu dikuatkan oleh kitab dan sunnah maka dia harus melaksanakan itu dengan sepenuh hati, kalau tidak maka akan masuk ke dalam timbangan amal buruknya. Allah berfirman :” Maka apakah orang yang dihiasi oleh syetan tentang kejelekan amalnya lalu dia menganggap baik terhadap hal itu ( Sama dengan orang yang tidak ditipu?) Sesungguhnya Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendakinya dan memberi hidayah kepada orang yang dikehendakinya.” (QS. Fathir : 8)
Demikian juga dia harus mengamalkan ilmunya dalam hal akhlak dan muamalah. Ilmu syar’i mengajak kepada semua akhlak yang utama berupa kejujuran,menunaikan janji, dan mencintai kebaikan bagi otang mukmin, sehingga Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda : “Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian sehingga dia mencinyai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.”[4] Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan ingin dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah dia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah dia memberi kepada manusia apa yang dia suka apabila hal itu diberikan kepadanya.”[5] Banyak diantara manusia yang mempunyai ghirah dan mencintai kebaikan akan tetapi mereka tidak bergaul dengan manusia dengan akhlak mereka. Kita temukan dia bersikap kasar dan keras sekalipun pada waktu berda’wah mengajak kepada Allah Azza wajalla kita temukan dia menerapkan sikap kasar dan keras. Ini adalah menyalahi akhlak yang diperintahkan oleh Allah Azza wajalla.
Ketahuilah bahwa kebaikan akhlak merupakan hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, dan seutama-utama manusia di hadapan Rasulullah dan yang paling dekat kedudukannya dari beliau adalah orang yang paling mulia akhlaknya, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam :” Sesungguhnya orang yang paling aku cintai diantara kalian dan yang paling dekat kedudukannya dariku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya dariku pada hari kiamat adalah Tsartsrun (orang yang banyak omong), mutasyaddiqun (yang cerewet), dan al mutafaihiqun.” Para sahabat bertanya :” Wahai Rasulullah, kami tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun. Lalu apakah arti mutafaihikun ?” Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Salam menjawab :” Orang yang takabbur.”6

Keenam : Berda’wah (mengajak) kepada Allah.

Seorang penuntut ilmu harus menjadi orang yang selalu mengajak kepada Allah Azza wajalla dengan ilmunya. Dia mengajak orang di setiap momen yang memungkinkan, baik di mesjid, di majlis, di pasar dan di setiap tempat yang memungkinkan. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam setelah Allah memberikan tugas kenabian dan tugas kerasulan kepadanya beliau tidaklah duduk-duduk di rumah tapi beliau mengajak manusia dan selalu bergerak. Saya tidak ingin seorang penuntut ilmu yang hanya menjadi kutu buku akan tetapi saya ingin diantara mereka ada yang menjadi ulama yang beramal. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh

Footnote
————————
[1] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab wudhu, bab keutamaan wudhu.
[2] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab tahajjud,bab doa dan shalat malam.Muslim,kitab shalat musafir, bab dorongan untuk berdoa dan dzikir di akhir malam.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim , kitab Aqdhiyah,bab menggugurkan hukum-hukum yang batil dan tertolaknya perkara-perkara baru.
[4] HR. Bukhary, kitab iman, bab mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk diri sendiri. Muslim, kitab iman,bab dalil bahwa diantara perkara iman adalah mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan.
[5] Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Iarah, bab perintah menunaikan janji dengan berbaiat kepada khalifah yang bertama kemudian yang berikutnya. Redaksi lengkapnya adalah : Dari Abdullah Bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma dia berkata :” Kami bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dalam satu perjalanan, lalu kami istirahat di suatu tempat, diantara kami ada yang memperbaiki kemahnya, ada yang melepasakannya,dana ada juga yang diam di tempatnya. Tiba-tiba petugas rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam memanggil : Shalat berjamaah !” Maka kamipun berkumpul menuju Rsulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, lalu beliau bersabda :” Sesungguhnya tak ada seorang nabipun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukan ummatnya kepada kebaikan yang dia ketahui kepada mereka dan mengingatkan ummatnya dari kejelekkan yang dia ketahui kepada mereka. Sesungguhnya ummat kalian ini dijadikan baik awalnya tapi generasi akhirnya akan ditimpa bala dan urusan-urusan yang kalian ingkari. Dan akan datang fitnah yang sebagian diantaranya lebih detail dari yang lainnya. Dan akan datang fitnah,lalu berkata seorang mukmin : “Ini adalah kehancuranku.” Kemudian dia terlepas dari fitnah itu. Kemudia datang lagi fitnah, lalu berkata lagi seorang mukmin :” Inilah kehancuranku.” Maka barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan ingin dimasukkan ke dalam surga hendaklah kematian mendatanginya dalam keadaan dia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah dia memberikan kepada manusia ap-apa yang dia suka apabila hal itu diberikan kepadanya. Dan barang siapa yang berbaiat kepada seorang imam lalu dia memberikan seluruh loyalitasnya dan ketaatan hatinya kepadanya maka hendaklah dia mentaatinya semampunya. Dan jika datang imam lainnya maka menggallah leher imam kedua ini.”

Related posts:

1. Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (3) Ketujuh : Hikmat. Penuntut ilmu harus menjadi orang yang dihiasi...
2. Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (1) Seorang pencari ilmu harus memiliki beberapa adab sebagai berikut :...
3. Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (4) Kesepuluh : Berpegang teguh kepada kitab dan sunnah. Setiap penuntut...
4. Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (5) Kesebelas : Tatsabbut dan Tsabat Diantara adab terpenting yang wajib...

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (2)
Okt 12th, 2010 | By abuhaidar | Category: Ilmu
Sumber :http://www.abuhaidar.web.id/2010/10/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-2/

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (1)

Seorang pencari ilmu harus memiliki beberapa adab sebagai berikut :

Pertama : Niyat yang ikhlas karena Allah.

Dengan cara memaksudkan mencari ilmunya untuk mendapatkan Wajah Allah dan negeri akhirat, karena Allah mndorong dan menekankan hal itu kepada manusia. Allah berfirman :” Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad : 19). Dan pujian kepada para ulama amat dikenal dan apabila Allah memuji kepada sesuatu atau memerintahkan sesuatu maja sesuatu itu menjadi ibadah.

Dengan demikian maka wajiblah ikhlas karena Allah dalam hal ini dengan cara meniyatkan mencari ilmunya untuk memperoleh Wajah Allah. Dan apabila seseorang meniyatkan mencari ilmu syar’i untuk memperoleh ijazah agar dengan ijazah itu dia mendapatkan kedudukan atau penghasilan maka tentang hal ini Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam telah bersabda :” Barang siapa yang mencari ilmu yang diridhai oleh Allah Azza Wajalla, dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mencari keuntungan dunia maka dia tidak akan mencium baunya surga.”[1] Ini adalah ancaman yang keras.

Akan tetapi kalau seorang penuntut ilmu mengatakan bahwa saya ingin memperoleh ijazah bukan karena untuk kepentingan dunia akan tetapi karena sistem yang berlaku menjadikan orang alim diukur dengan ijazahnya. Maka kita katakan bahwa apabila niyta seseorang memperoleh ijazah dalam rangka agar bisa memberi manfaat kepada orang lain dengan cara mengajar, atau administrasi atau semisalnya maka ini adalah niyat yang selamat yang tidak madharat sedikitpun karena ini adalah niyat yang benar.

Kita sebutkan ikhlas di awal penjelasan tantang adab mencari ilmu karena ikhlas merupakan dasar, maka seorang pencari ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya unruk melaksanakan perintah Allah karena Allah memerintahkan untuk berilmu. Allah berfirman :” Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah.” Dalam ayat ini Allah memerintahkan berilmu, maka apabila engkau belajar ilmu berarti engkau melaksanakan perintah Allah Azza Wajalla.

Kedua : Menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.

Seorang penuntut ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain karena pada asalnya manusia itu bodoh. Dalil tentang hal itu adalah firman Allah :” Dan Allah telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan kalian tidak tahu apa-apa dan Allah menjadikan pendengaran, pengalihatan dan hati bagi kalian agar kalian bersyukur.” (QS. An Nahl : 78). Kenyataan memperkuat akan hal itu, oleh karena itu engkau harus meniyatkan mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari dirimu agar engaku bisa mencapai rasa takut kepada Allah.. “ Hanyalah orang-orang yang takut kepada Allah dikalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”(QS. Fathir : 28). Engkau meniyatkan menghilangkan kebodohan dari dirimu karena pada asalnya engkau adalah bodoh, maka apabila engkau belajar dan engkau menjadi ulama maka hilanglah kebodohan dari dirimu, demikian pula engkau harus meniyatkan menghilangkan kebodohan dari ummat dengan cara mengajari mereka dengan bebagai cara agar manusia bisa mengambil manfaat dari ilmumu.

Apakah syarat memanfaatkan ilmu itu harus duduik di masjid dalam suatu halaqah ? Atau mungkin manusia bisa mengambikl manfaat dari ilmumu dalam setiap keadaan ? Jawabnya adalah yang kedua, karena Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Sampaikanlah apa-apa yang kalian terima dariku walaupun satu ayat.”[2] Karena apabila engkau mengajarkan ilmu kepada seseorang, lalu orang itu mengajarkan lagi ilmu ini kepada orang lain maka engkau akan memperoleh pahala dua orang, kalau dia mengajarkan lagi ilmu ini kepada orang yang ketiga maka engkau akan memperoleh pahala tiga orang, dan begitulah seterusnya. Dari sini maka termasuk kebid’ahan apabila seseorang berkata ketika melakukan suatu ibadah :” Ya Allah jadikanlah pahala dari amal ini untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.” Karena Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam lah yang mengajarkan hal ini kepadamu, beliaulah yang menunjukkanmu kepada amalan itu maka beliaupun akan mendapat pahala dari amalanmu.

Imam Ahmad Rahimahullah berkata :” Ilmu itu tidak ada bandingannya bagi orang yang benar niyatnya.” Beliau ditanya :” Bagaimana mewujudkan hal itu ?” Beliau menjawab :” Dia harus meniyatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.” Karena asalnya mereka adalah bodoh sebagaimana dirimupun pada asalnya bodoh, maka apabila engkau belajar untuk menghilangkan kebodohan dari ummat ini maka engkau akan termasuk diantara para mujahidin di jalan Allah yang menyebarkan agama Allah.

Ketiga : Membela syariat.

Yaitu meniyatkan mencari ilmu untuk membela syariat, karena kitab-kitab tidak mungkin bisa membela syariat. Tidak ada yang bisa membela syariat kecuali pembawa syariat. Kalau seseorang dari kalangan ahli bid’ah datang ke sebuah perpustakaan yang dipenuhi oleh kitab-kitab syariat sengan jumlah yang tak terhitung, lalu dia merbicara dengan kebid’ahannya dan memperkuat omongannya maka saya yakin bahwa tak ada satu kitabpun yang akan membantah omongannya. Akan tetapi apabila dia berbicara tentang kebid’ahannya di hadapan seorang ahli ilmu untuk menguatkan kebid’ahannya maka penuntut ilmu itu akan membantah orang itu dan mematahkan omongannya dengan Quran dan sunnah.

Oleh karena itu seorang penuntut ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya untuk membela syariat karena membela syariat tidak bisa dilakukan kecuali oleh manusia persisi seperti senjata. Kalau kita punya senjata yang penuh dengan peluru, apakah senjata ini mampu beroperasi sendiri untuk memuntahkan pelurunya ke arah musuh ? Ataukah tidak bis apa-apa kecuali dioperasikan oleh manusia ? Jawabnya adalah : Tidak bisa jalan sendiri kecuali dijalankan oleh manusia. Demikian pula dengan ilmu.

Selain itu bid’ah selalu tampil dalam bentuk baru. Kadang ada kebid’ahan tertentu yang muncul pada zaman awal dan tidak ada di dalam kitab-kitab, maka tidak mungkin ada yang bisa membantahnya kecuali penuntut ilmu, oleh karena itu saya katakan :

Sesungguhnya diantara hal yang wajib dipelihara oleh penuntut ilmu adalah membela syariat, dengan demikian maka manusia amat sangat membutuhkan para ulama untuk membantah tipu daya para ahli bid’ah dan semua musuh Allah Azza Wajalla. Dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan ilmu syar’i yang diambil dari kitab Allah dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Keempat : Berlapang dada dalam masalah yang diperselisihkan.

Penuntut ilmu dadanya harus lapang dalam permasalahan yang diperselisihkan yang bersumber dari hasil ijtihad karena masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama bisa terjadi dalam masalah-masalah yang tidak diperbolehkan ijtihad di dalamnya dan masalahnya sudah amat jelas,maka dalam masalah ini tak seorangpun boleh berselisih, atau bisa juga dalam masalah dibolehkan di dalamnya ijtihad maka dalam masalah ini orang boleh berselisih pendapat. Dan argumentasimu dalam masalah ini tidak bisa membatalkan argumen orang yang berbeda pendapat denganmu karena kalau kita terima hal ini maka bisa juga terjadi sebaliknya yaitu argumen dia bisa membatalkan argumenmu.

Maksud saya dengan penjelasan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan itu adalah yang dibolehkan ijtihad di dalamnya dan memungkinkan manusia berselisih dalam masalah itu. Adapun orang yang menyelisihi metoda salaf seperti masalah-masalah aqidah, maka dalam masalah ini tak bisa diterima seseorang yang menyelisihi aqidah yang di yakini oleh salafus shalih, akan tetapi dalam masalah-masalah lain yang diperbolehkan bagi pikiran kita untuk terlibat maka tidak boleh perbedaan pendapat dalam masalah ini dijadikan sebagai alasan untuk mencela fihak lain atau dijadikan sebab timbulnya permusuhan dan kebencian.

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum sering berbeda pendapat dalam banyak masalah, barang siapa yang ingin meneliti perselisihan pendapat diantara mereka maka hendaklah dia merujuk kepada atsar-atsar yang ada tentang mereka maka dia akan menemukan ikhtilaf dalam banyak masalah dan lebih besar dari masalah yang pada zaman sekarang ini dijadikan oleh orang sekarang sebagai adat (kebiasaan untuk berselisih sehingga orang-orang menjadikan hal itu sebagai penyebab timbulnya kelompok-kelompok dengan mengatakan : Saya beserta si Fulan dan saya bersama si Fulan ! Seolah-olah masalah ini adalah masalah kelompok. Ini adalah salah.

Contoh tentang hal itu seperti seseorang yang berkata : Apabila engkau bangkit dari ruku maka janganlah engkau letakkan tangan kananmu di atas tangan kiri tapi ulurkanlah ke samping dua pahamu, kalau tidak begitu maka engkau adalah mubtadi’ (ahli bid’ah).

Kata mubtadi’ (ahli bid’ah) bukanlah kata yang ringan bagi jiwa. Bila dia mengatakan hal itu kepada saya maka dada saya akan merasakan satu ketidak sukaan karena orang itu adalah manusia biasa. Kita katakan bahwa di dalam masalah ini ada kelapangan baik mau sedekap atau mau mengulurkan. Oleh karena itu Imam Ahmad menyatakan bahwa orang boleh memilih antara sedekap dengan mengulurkan ke bawah karena dalam urusan ini ada kelapangan. Akan tetapi bagaimanakah sunnahnya dalam urusan ini ?

Jawabnya adalah :

Sunnahnya adalah engkau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri apabila engkau bangkit dari ruku sebagaimana engkau lakukan hal itu ketika engkau berdiri sebelum ruku. Dalilnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary dari Sahl Bin Sa’d, dia berkata : “Adalah manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas hasta kiri di dalam shalat.”[3] Perhatikanlah apakah ini maksudnya perintah ketika bersujud atau dalam keadaan ruku, atau maksudnya dalam keadaan duduk ? Tidak ! Tapi maksudnya dalam keadaan berdiri yang mencakup berdiri sebelum ruku dan berdiri setelah ruku. Jadi kita tidak boleh menjadikan perbedaan dalam hal ini sebagai sebab untuk perselisihan dan persengketaan, karena semua kita menginginkan kebenaran dan setiap kita melakukakan hasil ijtihadnya, maka selama demikian maka hal ini tidak boleh kita jadikan penyebab permusuhan dan perpecahan antara ahli ilmu karena para ulama pun selalu ikhtilaf sekalipun di zaman Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Dengan demikian setia penuntut ilmu wajib bersatu padu dan tidak boleh menjadikan ikhtilaf seperti ini sebagai sebab untuk bermusuhan dan saling membenci, bahkan bila engkau ikhtilaf dengan sahabatmu didasarkan pada dalil yang engkau miliki dan sahabatmu berbeda denganmu juga berdasarkan kandungan dalil yang dia miliki maka wajib kamu jadikan diri mu dan dia di atas satu jalan (yaitu dalil) dan mestinya menambah rasa cinta diantara kalian berdua.

Oleh karena itu kita menyukai dan menyambut baik para pemuda kita yang mempunyai visi yang kuat untuk menyandingkan semua masalah dengan dalil dan membangun ilmu mereka di atas kitab dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, kita melihat bahwa ini termasuk kebaikan dan dia akan gembira dengan akan dibukakannya pintu-pintu ilmu dari caranya yang benar. Kita tidak menginginkan dari mereka sikapnya ini menjadi sebab munculnya sikap tahazzub (berkelompok) dan saling kebencian. Allah berfirman kepada nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Salam : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi golongan-golongan, tak ada tanggung jawabmu sedikitpun dari mereka.” (QS Al An’am 159). Maka orang-orang yang menjadikan diri-diri mereka sebagai golongan-golonga tidak kita setujui karena golongan Allah itu satu. Kita lihat bahwa perbedaan faham tidak harus menyebabkan manusia saling membenci dan saling mencela kehormatan saudaranya.

Maka setiap penuntut ilmu wajib menjadi saudara sehingga sekalipun mereka berbeda pendapat dalam beberapa masalah furu’. Setiap orang harus memanggil fihak lain dengan lembut dan berdialog yang ditujukan untuk menggapai wajah Allah dan mencapai ilmu, dengan cara ini akan terjalinlah sikap kelembutan dan hilanglah sikap kasar dan keras yang dimiliki oleh beberapa gelintir manusia sehingga kadang-kadang sikap itu menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Hal ini tidak diragukan lagi akan menggembirakan musuh-musuh Islam, dan perselisihan di kalangan ummat merupakan bahaya terbesar yang terjadi. Allah berfirman :” Dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih maka kalian akan lemah dan akan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah karena sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar.” ( Al Anfal : 46).

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum pun suka ikhtilaf dalam masalah seperti ini akan tetapi mereka berada di atas satu hati, di atas kecintaan dan persatuan,bahkan saya akan katakan dengan jelas bahwa jika seseorang berbeda pendapat denganmu berdasarkan dalil yang dia miliki maka sebenarnya dia bersepakat denganmu, karena masing-masing kalian adalah pencari kebenaran oleh karena itu tujuan kalian adalah sama yaitu menuju kebenaran dengan dalil, dengan demikian dia tidak berselisih denganmu selama engkau mengakui bahwa dia berbeda denganmu hanya karena berdasarkan dalil yang dia miliki, lalu di manakah letak perselisihannya ? Dengan cara seperti ini maka tetaplah ummat di atas persatuan sekalipun mereka kadang berbeda di dalam beberapa masalah untuk melaksanakan dalil yang dimiliki. Adapun orang yang menentang dan takabbur setelah nampak kebenaran maka tidak diragukan lagi bahwa dia wajib diperlakukan dengan perlakuan yang layak (bagi orang seperti itu) setelah dia menentang dan menyelisihi. Setiap kondisi ada penjelasannya yang sesuai. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh

Footnote:
—————————————-
[1] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad juz 2 hal 338. Abu Dawud, kitab ilmu, bab mencari ilmu selain karena Allah. Ibnu Majah, muqoddimah, bab memanfaatkan ilmu dan mengamalkannya. Hakim dalam Al Mustadrak, juz 1 hala 160. Ibnu Abi Syaibah dalam AL Mushonnaf, juz 8 hal 543. Al Ajury dalam Akhlaq ulama hal 142 dan di dalam Akhlaq ahli Quran hal 128 nomor 57. Berkata Al Hakim : Hadis ini sahih, sanadnya terpercaya.

[2] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab para nabi, bab kisah Bani Israil

[3] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab sifat shalat,bab meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Dan lafazh dari Sahl Bin Sa’d mengatakan : Adalah manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas hasta yang kiri di dalam shalat.

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (1)
Okt 10th, 2010 | By abuhaidar | Category: Ilmu
Sumber :http://www.abuhaidar.web.id/2010/10/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-1/

Sayyid Qutb, Tokoh Intelektual Islam Sejati




Sayyid Qutb
adalah seorang ilmuwan, sastrawan sekaligus pemikir dari Mesir. Ia lahir di daerah Asyut, Mesir tahun 1906, di sebuah desa dengan tradisi agama yang kental. Dengan tradisi yang seperti itu, maka tak heran jika Qutb kecil menjadi seorang anak yang pandai dalam ilmu agama. Tak hanya itu, saat usianya masih belia, ia sudah hafal Qur'an. Bakat dan kepandaian menyerap ilmu yang besar itu tak disia-siakan terutama oleh kedua orang tua Qutb. Berbekal persedian dan harta yang sangat terbatas, karena memang ia terlahir dalam keluarga sederhana, Qutb di kirim ke Halwan. Sebuah daerah pinggiran ibukota Mesir, Cairo.

Kesempatan yang diperolehnya untuk lebih berkembang di luar kota asal tak disia-siakan oleh Qutb. Semangat dan kemampuan belajar yang tinggi ia tunjukkan pada kedua orang tuanya. Sebagai buktinya, ia berhasil masuk pada perguruan tinggi Tajhisziyah Dar al Ulum, sekarang Universitas Cairo. Kala itu, tak sembarang orang bisa meraih pendidikan tinggi di tanah Mesir, dan Qutb beruntung menjadi salah satunya. Tentunya dengan kerja keras dan belajar. Tahun 1933, Qutb mendapat menyabet gelar Sarjana Pendidikan.

Tak lama setelah itu ia diterima bekerja sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir. Selama bekerja, Qutb menunjukkan kualitas dan hasil yang luar biasa, sehingga ia dikirim ke Amerika untuk menuntut ilmu lebih tinggi dari sebelumnya.Qutb memanfaatkan betul waktunya ketika berada di Amerika, tak tanggung-tanggung ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi di negeri Paman Sam itu. Wilson's Teacher's College, di Washington ia jelajahi, Greeley College di Colorado ia timba ilmunya, juga Stanford University di California tak ketinggalan diselami pula.

Seperti keranjingan ilmu, tak puas dengan yang ditemuinya ia berkelana ke berbagai negara di Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya. Tapi itupun tak menyiram dahaganya. Studi di banyak tempat yang dilakukannya memberi satu kesimpulan pada Sayyid Qutb. Hukum dan ilmu Allah saja muaranya. Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama.

Alhasil, setelah lama mengembara, Sayyid Qutb kembali lagi ke asalnya. Bak pepatah, sejauh-jauh bangau terbang, pasti akan pulang ke kandang. Ia merasa, bahwa Qur'an sudah sejak lama mampu menjawab semua pertanyaan yang ada. Ia kembali ke Mesir dan bergabung dengan kelompok pergerakan Ihkawanul Muslimin. Di sanalah Sayyid Qutb benar-benar mengaktualisasikan dirinya. Dengan kapasitas dan ilmunya, tak lama namanya meroket dalam pergerakan itu. Tapi pada tahun 1951, pemerintahan Mesir mengeluarkan larangan dan pembubaran Ikhwanul Muslimin.

Saat itu Sayyid Qutb menjabat sebagai anggota panitia pelaksana program dan ketua lembaga dakwah. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan , Qutb juga dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus sastra. Kalau di Indonesia semacam H.B. Jassin lah. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia menulis tentang banyak hal, mulai dari sastra, politik sampai keagamaan. Empat tahun kemudian, tepatnya Juli 1954, Sayyid menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Tapi harian tersebut tak berumur lama, hanya dua bulan, karena dilarang beredar oleh pemerintah.

Tak lain dan tak bukan sebabnya adalah sikap keras, pemimpin redaksi, Sayyid Qutb yang mengkritik keras Presiden Mesir kala itu, Kolonel Gamal Abdel Naseer. Saat itu Sayyid Qutb mengkritik perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Mesir dan negara Inggris. Tepatnya 7 Juli 1954. Sejak saat itu, kekejaman penguasa bertubi-tubi diterimanya. Setelah melalui proses yang panjang dan rekayasa, Mei 1955, Sayyid Qutb ditahan dan dipenjara dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya. Berpindah-pindah penjara, begitulah yang diterima Sayyid Qutb dari pemerintahnya kala itu.

Hal itu terus di alaminya sampai pertengahan 1964, saat presiden Irak kala itu melawat ke Mesir. Abdul Salam Arief, sang presiden Irak, memminta pada pemerintahan Mesir untuk membebaskan Sayyid Qutb tanpa tuntutan. Tapi ternyata kehidupan bebas tanpa dinding pembatas tak lama dinikmatinya. Setahun kemudian, pemerintah kembali menahannya tanpa alasan yang jelas. Kali ini justru lebih pedih lagi, Sayyid Qutb tak hanya sendiri. Tiga saudaranya dipaksa ikut serta dalam penahanan ini. Muhammad Qutb, Hamidah dan Aminah, serta 20.000 rakyat Mesir lainnya.

Alasannya seperti semua, menuduh Ikhwanul Muslimin membuat gerakan yang berusaha menggulingkan dan membunuh Presiden Naseer. Ternyata, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada. Hukuman yang diterima kali ini pun lebih berat dari semua hukuman yang pernah diterima Sayyid Qutb sebelumnya. Ia dan dua orang kawan seperjuangannya dijatuhi hukuman mati.

Meski berbagai kalangan dari dunia internasional telah mengecam Mesir atas hukuman tersebut, Mesir tetap saja bersikukuh seperti batu. Tepat pada tanggal 29 Agustus 1969, ia syahid di depan algojo-algojo pembunuhnya. Sebelum ia menghadapi ekskusinya dengan gagah berani, Sayyid Qutb sempat menuliskan corat-coret sederhana, tentang pertanyaan dan pembelaannya. Kini corat-coret itu telah menjadi buku berjudul, "MENGAPA SAYA DIHUKUM MATI."

Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh pemerintahan Mesir kala itu. Semoga Allah memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya.
Amin.

HIKAM:
Studi di banyak tempat yang dilakukannya, seperti Wilson's Teacher's College, di Washington, Greeley College di Colorado, Stanford University di California, Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya, tapi itu tak menyiram dahaganya. Akhirnya satu kesimpulan yang diperolehnya: HUKUM DAN ILMU ALLAH SAJA MUARANYA.Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama. Tanggal 29 Agustus 1969, beliau syahid. Memang, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada.

Sumber : http://www.hudzaifah.org/Article188.phtml
_____________________________________________________________________________________

101 Tahun Kelahiran Sayyid Qutb: Telunjuk yang Bersyahadah Dalam Setiap Solat Ini…

Seratus satu tahun berlalu setelah kelahiran salah satu tokoh Islam Sayyid Qutb. Tokoh kelahiran 9 Oktober 1906 itu adalah penulis kitab monumental “Fii Zhilaal Al-Qur`an”, “Ma’aalim fi Thariiq” dan “Al-Mustaqbal li Haadzaa Ad Diin”. Tiga buku itu semuanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia dan Indonesia oleh sejumlah penerbit. Dan ketiga buku itu juga mendapat pasar yang luas di kalangan Muslim Dunia.

Memang ada perdebatan tentang metode berfikir Sayyid Qutb dalam tulisan-tulisannya yang tegas menyatakan kejahiliyahan masyarakat modern terkait keharusan hakimiyah (penghakiman) yang tidak merujuk kepada Allah swt. Tapi bagaimanapun, peri hidup Sayyid Qutb tetaplah penting diulas sebagai bagian dari perjalanan seorang yang rela mengorbankan dirinya untuk membela tauhid yang diyakini kebenarannya.

Sepintas Kehidupan Sayyid Qutb Sayyid Quthb gugur di tali gantung pada tanggal 20 Ogos 1966. Ia dikenal sebagai tokoh yang total berjuang untuk agamanya, menyerahkan seluruh hidupnya untuk Allah, seorang mukmin yang begitu kuat keyakinannya. Ia persembahkan nyawanya yang ‘murah’ kepada keyakinan dan akidahnya. Ia menghabiskan bertahun tahun usia terakhirnya di penjara. Ia tuangkan jiwa dan fikirannya yang luar biasa dalam lembar-lembar tulisan tangannya dengan untaian kata yang penuh makna dan bernilai sastra. Hampir semua orang yang membacanya, bisa merasakan getar ruhani dan pikirannya dari bunyi tulisan penanya yang tercantum hebat dalam karya-karya tulisnya.

Sayyid Qutb mendapat pendidikan pertama di rumah dari orang tua yang kuat beragama. Usia 6 tahun, Qutb diantar ke sekolah rendah di kampungnya, Assiyut. Dan pada usia 7 tahun ia mulai menghafal Al-Qur’an. Dalam tiga tahun berikutnya, ia telah menghafal seluruh Al-Qur`an.

Awal dekad 1940-an, satu era baru telah mulai terjadi dalam kehidupan Sayyid Qutb, sebagai masa pencerahan kesadarannya terhadap Islam. Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis beberapa seri “At-Taswir Fanni Fil Qur’an” pada tahun 1939. Tulisan ini mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pada tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk “Masyahidul Qiamah Fil Qur’an” yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam Al-Qur`an. Dan pada tahun 1948, Sayyid Qutb menghasilkan sebuah buku berjudul “Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam” atau Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam kitab ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan sistem Islam.

Fase terakhir perjalanan Sayyid Qutb berawal pada tahun 1951, saat ia mulai bergabung dengan Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun, sampai tahun wafatnya di tali gantung tahun 1966. Baginya, rentang masa itu sangat penting dan karenanya ia pernah mengatakan bahw tahun 1951 adalah tahun kelahirannya. Sayyid Qutb bergabung bersama Al-Ikhwan Al-Muslmun, dua tahun selah wafatnya Imam Hassan al-Banna yang merupakan pengasas Al-Ikhwan, pada tahun 1949. Mereka tidak pernah bertemu muka, meski dilahirkan di tahun yang sama 1906, dan dididik di tempat yang sama, di Darul Ulum.

Namun di antara mereka mempunyai kesatuan jiwa dan kesamaan orientasi berpikir. Sebelumnya, ketika Hasan Al-Banna membaca buku “Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam”, karangan Sayyid Qutb, ia menganggap pengarangnya adalah bagian dari Al-Ikhwan. Lalu, al-Banna telah mengatakan bahwa “orang ini” (Sayyid Qutb) tidak lama lagi akan bergabung bersama Al-Ikhwan.

Sayyid Qutb juga mempunyai perasaan yang sama terhadap Hassan Al-Banna. Kematian Al-Banna sangat membekas dalam jiwanya, meski ia belum pernah bersama dengan Al-Banna. Berita kematian Al-Banna diterimanya dengan perasaan tragis saat ia dirawat di sebuah rumah sakit di Amerika. Karena orang-orang Amerika bergembira menyambut berita kematian Al-Banna. Pulang dari AS, Sayyid Qutb mengkaji kehidupan Al-Banna dan membaca seluruh risalah karangannya. Selanjutnya ia pun memutuskan untuk memikul amanah perjuangan Hassan al-Banna.

Beberapa karya Sayyid Qutb selanjutnya adalah: Haaza ad Din, Al-Musta qbal li hadza ad diin, khashaish tashawwur al-Islami, ma’alim fi thariq, dan tafsir fii zilali al-Qur`an. Pesan utama yang ditekankan Qutb di dalam tulisan-tulisannya adalah konsep al-Tauhid dari sudut al-Uluhiyyah. Menurutnya inti dari Tauhid Uluhiyyah adalah hak Allah dari sudut al-Hakimiyyah dan al-Tasyri’ (pembuatan peraturan). Dan karenanya, menurut Qutb ikrar Lailaha ilalLah adalah pernyataan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang berkuasa di atas muka bumi Nya. Maka seluruhnya itu mesti dikembalikan kepada hakNya.

Pada 13 Januari 1954, Revolusi Mesir mengharamkan Al-Ikhwan Al-Muslimun dan para pimpinannya ditangkap karena dituduh sedang merancang rampasan kuasa. Tanpa bukti yang jelas, tujuh orang pimpinan tertinggi Al-Ikhwan dijatuhi hukuman mati, termasuk Hasan Hudhaibi, Abdul Qadir Audah dan Syeikh Muhammad Farghali, ketua sukarelawan Mujahidin Ikhwan al-Muslimin di dalam Perang Suez 1948. Tapi hukuman terhadap Hasan Hudhaibi di ubah menjadi penjara seumur hidup dan Sayyid Qutb dihukum penjara lima belas tahun dengan kerja berat.

Pada tahun 1964, Sayyid Qutb telah dibebaskan atas permintaan pribadi Abdul Salam Arif, Presiden Iraq. Tapi Pemerintahan Revolusi Mesir belum menerima pembebasan tersebut. Setelah Presiden Abdul Salam Arif meninggal dalam satu musibah pesawat udara, Qutb ditangkap lagi pada tahun berikutnya. Alasannya adalah karena Qutb dituduh kembali merancang rampasan kuasa. Selain itu, Mahkamah Revolusi merujuk pada buku-buku Sayyid Quthb terutama Maalim Fi At Thariiq, yang mendasari pernyataan seruan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang tidak berdasarkan Syari’at Allah.

Sayyid Qutb ditahan bersama seluruh anggota keluarganya. Sebelum hukuman gantung dilaksanakan, Presiden Naser menghantar utusan menemui Sayyid Qutb. Melalui utusan itu Presiden Naser meminta agar Sayyid Qutb menulis pernyataan meminta ampun agar ia dibebaskan. Tapi Sayyid Qutb dengan tegas menjawab; “Telunjuk yang bersyahadah setiap kali dalam solat menegaskan bahwa Tiada Ilah yang disembah dengan sesungguhnya melainkan Allah dan Muhamad adalah Rasulullah, dan aku takkan menulis satu perkataan yang hina. Jika aku dipenjara karena kebenaran aku redha. Jika aku dipenjara secara batil, aku tidak akan menuntut rahmat daripada kebatilan. ”

Pagi hari Isnin, 29 Ogos 1966, Sayyid Qutb digantung bersama-sama sahabat seperjuangannya, Muhamad Yusuf Hawwash dan Abdul Fatah Ismail. Dunia Islam pun kehilangan salah satu pejuangnya yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk membela tauhid. (Lili Nur Aulia).

Ulasan: Untuk apakah, sekiranya di beri pilihan, kita akan mati? Sementara masih sihat, eloklah bersama-sama berdakwah sehingga syahid untuk kebaikan manusia seluruhnya.

Punca: http://www.eramuslim.com/berita/lpk/7a19061627-101-tahun-kelahiran-sayyid-qutb-telunjuk-bersyahadah-dalam-setiap-shalat-ini.htm